Kamis, 11 Juli 2013

Keteguhan dari Langit ( cerpen by : Aditya Putra Pamungkas)

Leave a Comment

Keteguhan dari Langit
 By : Aditya Putra Pamungkas
                                                                              
Ibukota memang menjanjikan semuanya. Kemewahan, kesuksesan bahkan derajat seseorang. Namun di suatu sudut sempit di kota ini banyak kisah pahit yang harus dialami sebuah pasangan ayah dan anak yang tinggal bersama. Pak Dadang dan putranya yang bernama Musa harus mengalami kisah pahit dalam hidup mereka. Pak Dadang adalah duda yang kini usianya sudah memasuki kepala 5, berperawakan kurus, berkulit gelap, rambut bergelombang dan mulai memutih. Sedangkan Musa berumur sekitar 9 tahun, berkulit gelap dan bertubuh kurus dengan rambut yang menguning akibat sorotan sinar matahari .Di perumahan kumuh dekat bantaran kali yang suatu saat bisa meluap, mereka tinggal bersama. Tinggal di sebuah rumah yang sebenarnya jauh dari kata layak untuk disebut sebagai tempat tinggal. Dari kayu lapuk dan papan triplek yang beratap dari karung beras “rumahnya” dibangun. Sungguh ironis melihat kehidupan seperti itu di Ibukota yang ‘mewah’ ini.
Lama sudah pak Dadang ditinggal istrinya yang sudah berpulang ke Rahmatullah. Istrinya meninggal karena kejadian yang begitu sulit untuk dikenang olehnya, bayangan bahwa kematian istrinya adalah tanggung jawabnya, selalu menjadi ‘momok’ baginya. Wajahnya selalu terlihat pucat saat mengenang mendiang sang istri, matanya sayu, tatapannya kosong tak berarah. Rasanya matahari tak bersinar cerah untuknya. Kejadian itu bermula sekitar 3 tahun yang lalusaat pak Dadang dan istrinya tak kuasa membendung kebahagiaannya. Pak Dadang diangkat menjadi satpam si sebuah sekolah dasar di dekat rumahnya dulu. Sebelumnya pak Dadang bekerja di sekolah itu sebagai tukang kebun yang hanya mendapat gaji seratus ribu rupiah per bulannya. Raut muka yang terpancar saat itu sangat lain dengan biasanya, wajahnya sumringah penuh senyum dan rasa bangga. Bermaksud untuk merayakan kegembiraannya, pak Dadang meminjam motor bebek milik pak Sigit. Pak Sigit adalah guru seni di sekolah tempatnya bekerja.
Motor ia kendarai dengan penuh semangat sampai ke rumah. Di rumah hanya ada istrinya, karena saat itu Musa sedang asik bermain gundu dengan teman-temannya.
“Buk, ibuk di mana?”
“Ibu di dapur pak, ada apa?” jawab sang istri.
“Ke sini buk, bapak ada kabar gembira!”
Istrinya segera menemui pak Dadang yang berada di teras rumah. Dengan penuh rasa penasaran ia menemui pak Dadang. Di sana ia melihat wajah sumringah yang jelas tergambar di wajah suaminya itu. Dia tertegun sebentar melihat ekspresi wajah suaminya yang jarang sekali ia lihat. Rasanya ia juga ingin merasakan  kebahagiaan yang sama dengan apa yang dirasakan suaminya. Tapi dia masih bertanya ‘apa yang membuat suaminya itu begitu bahagia’. Sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Bapak ini kenapa to, kelihatannya senang sekali?”
“Sudah nanti bapak ceritakan, ibu lagi pingin makan apa?”
“Memang kenapa pak? Ibu udah lama nggak makan nasi padang di deket Rumah Sakit Elisabeth” jawabnya masih penasaran.
“Kalau begitu ayo ikut bapak!” sambil menarik tangan sang istri erat.
Akhirnya mereka pun berangkat ke sebuah rumah makan padang. Motor dikendarai oleh pak Dadang sedangkan istrinya membonceng di belakang punggungnya. Pak Dadang memang tidak dapat menyembunyikan kebahagiannya, dia sudah membayangkan hidupnya akan sedikit terangkat daripada  kini. Dia mencoba memberi tahu istrinya yang masih bertanya-tanya.
“Bbuk tau nggak kenapa bapak sampai seperi ini?” suaranya terdengar samar-samar karena terpa’an angin yang kencang.
“Gimana pak? Ibu nggak denger?”
Dengan maksud agar suaranya lebih terdengar, pak Dadang sedikit menolehkan kepalanya ke belakang.
“Buk, tahu nggak, bapak diangkat jadi sat...”
Tiba – tiba istrinya berteriak.
“Pak, awass mobiiiil!!”
Prraaaak, mobil jenis mini bus yang mendadak berhenti di depan pak Dadang, tertabrak oleh oleh bagian depan motor yang dikendarainya. Pak Dadang terpelanting ke arah trotoar di pinggir jalan. Sedangkan na’as bagi sang istri, tubuhnya terjatuh dan terpental sampai sekitar 5 meter dengan kepala yang terlebih dahulu terbentur aspal. Pelindung kepalanya terlepas setelah terbentur hebat, tangannya patah, darah mengucur deras mengalir dari kepalanya. Saat pak Dadang dapat bangkit, segeralah ia mencari di mana istrinya, wajahnya pucat, bajunya sobek terkoyak aspal, langkahnya sempoyongan jantungnya berdetak sangat kencang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, antara perasaan cemas, gelisah, ketakutan akan kehilangan istrinya yang luar biasa.
Dia sudah tidak mengurusi motor pinjaman yang sudah ringsek tak berbentuk. Yang menuntun dirinya adalah keinginannya untuk melihat istrinya dalam keadaan baik – baik saja tanpa ada satu pun lecet di tubuhnya. Dan apa yang terjadi ketika dia melihat tubuh istrinya tergeletak lemah tak berdaya di aspal dengan kucuran darah di kepala dan baju yang yang memerah darah. Pak Dadang tak kuasa menahan air matanya meluap dan jatuh membasahi pipinya, dengan linangan air mata ia mencoba meraih tubuh sang istri dan memeluknya. Pak Dadang meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa istrinya tidak apa – apa, tapi kenyataan berkata lain. Istrinya menghela nafasnya yang terakhir di pelukannya. Dan rasanya, hatinya belum siap untuk ditinggalkan orang yang amat ia sayangi yang seharusnya tak terjadi di momen yang harusnya bahagia.
Setelah kejadian itu, uang pak Dadang habis untuk mengganti rugi motor pak Sigit. Lebih dari itu, ia juga harus mendekam di balik jeruji besi selama 3 dengan tuduhan, lalai sehingga menyebabkan kematian seseorang. Kenyataan yang lebih pahit lagi, dia juga diPHK karena dari pekerjannya, karena  harus menjalani hari – harinya di sel tahanan. Pak Dadang saat itu berfikir bahwa hidupnya sudah terlampau jauh untuk dapat menemukan kebahagiannya lagi. sementara Musa anaknya, harus ditipkan ke panti asuhan. Pak Dadang tidak mau menyalahkan dan menghujat Tuhan. Bahwa dia sendiri lah yang bertanggung jawab atas hidupnya saat ini. Hari – harinya ia lalui dengan berdzikir dan melakukan kebaikan selama menjalani masa tahanan. Dia juga menjadi pribadi yang lebih religius.
                                                                ***
Tiga tahun berlalu sejak masa tahanannya dimulai. Kini pak Dadang sudah bisa meninggalkan selnya yang berbau tak enak. Hal pertama yang ingin ia lakukan adalah mengunjungi makam istrinya. Di bawah batu nisan yang bertuliskan ‘Lastri binti Kasim’ jenazah istrinya disemayamkan. Di kuburan itu ia tertegun, dia berusaha mengingat kepingan – kepingan memori indah saat bersama lastri dulu. Sejenak dia tersenyum, tapi diakhiri dengan tangisan yang luar biasa dalam batinnya yang muncul begitu saja. Air matanya berguguran, dadanya terasa sesak, dan matanya terlihat membengkak. Selepas itu ia meninggalkan sepotong bunga mawar yang diletakkan di dekat batu nisan mendiang istrinya, lalu berjalan ke luar area pemakaman.
Langkahnya kemudian tertuju pada sebuah panti asuhan tempat Musa diasuh. Dibawalah Musa bersama dengannya. Wajah polos Musa membuat pak Dadang tersentuh, dipeluklah anak itu dengan dekapan penuh kasih sayang. Tes...tes satu demi satu air mata pak Dadang berguguran. Dalam benaknya ia meneguhkan hatinya, “Tak akan kutinggalkan kamu nak!, tak kan lagi setelah ibumu pergi”. Musa hanyut dalam dekapannya. Pak Dadang membawa Musa ke sebuah rumah kumuh untuk ditinggali nya bersama, karena rumahnya dulu sudah ia jual. Sebenarnya pak Dadang tidak tega membawa musa ke sana, tapi dia tidak mau jauh dengan orang yang amat ia cintai, dan tak mau kehilangan lagi seperti sosok istrinya yang sudah lama tak dilihatnya lagi.
Sehari – hari pak Dadang bekerja sebagai buruh serabutan, semua pekerjaan ikhlas dikerjakannya demi menghidupi Musa. Ia memang punya semangat yang luar biasa untuk memberikan yang terbaik untuk putranya ini. Musa didaftarkan di sebuah sekolah dasar tempat kerjanya dulu. Pak dadang mendapat keringanan biaya untuk sekolah Musa berkat pengabdiannya dulu menjadi tukang kebun di sekolah itu. Untungnya Musa adalah seorang anak yang penurut, itu yang membuat beban pak Dadang menjadi lebih ringan.
Senja menjelang, cat langit sudah berubah menjadi jingga, burung gagak berteriak kencang. Pak Dadang pulang membawa dua bungkus nasi untuk menu makan malamnya dengan Musa.
“Musa makan dulu ya, ini bapak bawakan kamu nasi bungkus”
“Iya pak sebentar, Musa lagi ngerjain PR”
“Iya, kalau sudah selesai langsung makan ya nak”
“Iya” Musa menjawab
Pak Dadang senang melihat anaknya lahap memakan butiran nasi yang dibawanya tadi, wajahnya penuh pengharapan untuk Musa. Dalam benaknya ia berharap bahwa Musa akan menjadi anak yang sholeh, berguna untuk negara, seperti yang diharapkan mendiang ibunya.
“Gimana sekolahmu Mus?
“Oh, baik pak, setelah tes kenaikan kelas 5 nanti bakal ada beasiswa untuk masuk ke SMP favorit untuk peringkat 1 di kelas”
“Wah ini kesempatan bagus untukmu, tunjukkan kalo kamu bisa dapet itu dan buat bapak bangga ya” tutur pak Dadang sambil mengelus kepala Musa.
Senja telah berganti malam, Musa pun terlelap di ranjang dari papan triplek. Raut mukanya terlihat lugu. Pak Dadang duduk di sebelah Musa untuk menemani. Uhuuk – uhuuk tiba – tiba pak Dadang batuk, betapa terkejutnya dia saat tangan yang digunakan unuk meredam batuknya itu memerah karena darah. Pak Dadang menyadari bahwa umurnya tak akan lama lagi.
***
Tes semester sudah dilewati Musa dengan baik, dan kini saat untuk mengambil hasil belajarnya selama du semester ini. Pak Dadang tidak bisa mengambilkan rapor untuk Musa karena harus bekerja. Betapa terkejutnya Musa saat mengetahui bahwa ia mendapat predikat ranking 1 di kelasnya dan berhak atas beasiswa yang selama ini dijanjikan. Musa pulang dengan wajah yang berbinar, ia sudah tak sabar untuk memberitahukan berita bahagia ini kepada sang ayah. Dan kali ini ia terkejut saat melihat rumahnya dikerumuni banyak orang.
“Maaf pak ada apa ini?”
“Bapakmu Mus, Bapakmu meninggal!”salah seorang tetangga menjawab
Musa tersentak. Wajahnya penuh dengan rasa tidak percaya. Ayahnya meninggal karena serangan jantung, telah lama pak Dadang menyembunyikan terhadap Musa bahwa ia mempunyai penyakit kritis. Untuk anak seumurannya sungguh malang sudah kehilangan kedua orang tuanya. Kejadian ini terulang kembali saat momen yang seharusnya menjadi bahagia, malah berbalik menjadi kejadian yang sangat memilukan. Musa tak henti – hentinya menangis kala itu. Beruntung ada seorang tetangga pak Dadang yang bermaksud untuk merawat Musa.
Dan...Bertahun – tahun setelah kejadian itu Musa beranjak dewasa, karena prestasinya, ia mendapat beasiswa dari menjadi siswa SMP sampai di SMA. Dan sekarang dia sudah bekerja di perusahaan pengeboran minyak di Sumatra dengan pangkat yang tinggi, dan juga meneruskan study S2nya Di UGM. Prestasinya ini ia dedikasikan untuk kedua orang tuanya di ‘sana’.




0 komentar:

Posting Komentar