Keteguhan dari Langit
By : Aditya Putra Pamungkas
Ibukota
memang menjanjikan semuanya. Kemewahan, kesuksesan bahkan derajat
seseorang. Namun di suatu sudut sempit di kota ini banyak kisah pahit
yang harus dialami sebuah pasangan ayah dan anak yang tinggal bersama.
Pak Dadang dan putranya yang bernama Musa harus mengalami kisah pahit
dalam hidup mereka. Pak Dadang adalah duda yang kini usianya sudah
memasuki kepala 5, berperawakan kurus, berkulit gelap, rambut
bergelombang dan mulai memutih. Sedangkan Musa berumur sekitar 9 tahun,
berkulit gelap dan bertubuh kurus dengan rambut yang menguning akibat
sorotan sinar matahari .Di perumahan kumuh dekat bantaran kali yang
suatu saat bisa meluap, mereka tinggal bersama. Tinggal di sebuah rumah
yang sebenarnya jauh dari kata layak untuk disebut sebagai tempat
tinggal. Dari kayu lapuk dan papan triplek yang beratap dari karung
beras “rumahnya” dibangun. Sungguh ironis melihat kehidupan seperti itu
di Ibukota yang ‘mewah’ ini.
Lama
sudah pak Dadang ditinggal istrinya yang sudah berpulang ke
Rahmatullah. Istrinya meninggal karena kejadian yang begitu sulit untuk
dikenang olehnya, bayangan bahwa kematian istrinya adalah tanggung
jawabnya, selalu menjadi ‘momok’ baginya. Wajahnya selalu terlihat pucat
saat mengenang mendiang sang istri, matanya sayu, tatapannya kosong tak
berarah. Rasanya matahari tak bersinar cerah untuknya. Kejadian itu
bermula sekitar 3 tahun yang lalusaat pak Dadang dan istrinya tak kuasa
membendung kebahagiaannya. Pak Dadang diangkat menjadi satpam si sebuah
sekolah dasar di dekat rumahnya dulu. Sebelumnya pak Dadang bekerja di
sekolah itu sebagai tukang kebun yang hanya mendapat gaji seratus ribu
rupiah per bulannya. Raut muka yang terpancar saat itu sangat lain
dengan biasanya, wajahnya sumringah penuh senyum dan rasa bangga.
Bermaksud untuk merayakan kegembiraannya, pak Dadang meminjam motor
bebek milik pak Sigit. Pak Sigit adalah guru seni di sekolah tempatnya
bekerja.
Motor
ia kendarai dengan penuh semangat sampai ke rumah. Di rumah hanya ada
istrinya, karena saat itu Musa sedang asik bermain gundu dengan
teman-temannya.
“Buk, ibuk di mana?”
“Ibu di dapur pak, ada apa?” jawab sang istri.
“Ke sini buk, bapak ada kabar gembira!”
Istrinya
segera menemui pak Dadang yang berada di teras rumah. Dengan penuh rasa
penasaran ia menemui pak Dadang. Di sana ia melihat wajah sumringah
yang jelas tergambar di wajah suaminya itu. Dia tertegun sebentar
melihat ekspresi wajah suaminya yang jarang sekali ia lihat. Rasanya ia
juga ingin merasakan kebahagiaan
yang sama dengan apa yang dirasakan suaminya. Tapi dia masih bertanya
‘apa yang membuat suaminya itu begitu bahagia’. Sepatah kata keluar dari
mulutnya.
“Bapak ini kenapa to, kelihatannya senang sekali?”
“Sudah nanti bapak ceritakan, ibu lagi pingin makan apa?”
“Memang kenapa pak? Ibu udah lama nggak makan nasi padang di deket Rumah Sakit Elisabeth” jawabnya masih penasaran.
“Kalau begitu ayo ikut bapak!” sambil menarik tangan sang istri erat.
Akhirnya
mereka pun berangkat ke sebuah rumah makan padang. Motor dikendarai
oleh pak Dadang sedangkan istrinya membonceng di belakang punggungnya.
Pak Dadang memang tidak dapat menyembunyikan kebahagiannya, dia sudah
membayangkan hidupnya akan sedikit terangkat daripada kini. Dia mencoba memberi tahu istrinya yang masih bertanya-tanya.
“Bbuk tau nggak kenapa bapak sampai seperi ini?” suaranya terdengar samar-samar karena terpa’an angin yang kencang.
“Gimana pak? Ibu nggak denger?”
Dengan maksud agar suaranya lebih terdengar, pak Dadang sedikit menolehkan kepalanya ke belakang.
“Buk, tahu nggak, bapak diangkat jadi sat...”
Tiba – tiba istrinya berteriak.
“Pak, awass mobiiiil!!”
Prraaaak,
mobil jenis mini bus yang mendadak berhenti di depan pak Dadang,
tertabrak oleh oleh bagian depan motor yang dikendarainya. Pak Dadang
terpelanting ke arah trotoar di pinggir jalan. Sedangkan na’as bagi sang
istri, tubuhnya terjatuh dan terpental sampai sekitar 5 meter dengan
kepala yang terlebih dahulu terbentur aspal. Pelindung kepalanya
terlepas setelah terbentur hebat, tangannya patah, darah mengucur deras
mengalir dari kepalanya. Saat pak Dadang dapat bangkit, segeralah ia
mencari di mana istrinya, wajahnya pucat, bajunya sobek terkoyak aspal,
langkahnya sempoyongan jantungnya berdetak sangat kencang. Ada sesuatu
yang mengganjal di hatinya, antara perasaan cemas, gelisah, ketakutan
akan kehilangan istrinya yang luar biasa.
Dia
sudah tidak mengurusi motor pinjaman yang sudah ringsek tak berbentuk.
Yang menuntun dirinya adalah keinginannya untuk melihat istrinya dalam
keadaan baik – baik saja tanpa ada satu pun lecet di tubuhnya. Dan apa
yang terjadi ketika dia melihat tubuh istrinya tergeletak lemah tak
berdaya di aspal dengan kucuran darah di kepala dan baju yang yang
memerah darah. Pak Dadang tak kuasa menahan air matanya meluap dan jatuh
membasahi pipinya, dengan linangan air mata ia mencoba meraih tubuh
sang istri dan memeluknya. Pak Dadang meyakinkan pada dirinya sendiri
bahwa istrinya tidak apa – apa, tapi kenyataan berkata lain. Istrinya
menghela nafasnya yang terakhir di pelukannya. Dan rasanya, hatinya
belum siap untuk ditinggalkan orang yang amat ia sayangi yang seharusnya
tak terjadi di momen yang harusnya bahagia.
Setelah
kejadian itu, uang pak Dadang habis untuk mengganti rugi motor pak
Sigit. Lebih dari itu, ia juga harus mendekam di balik jeruji besi
selama 3 dengan tuduhan, lalai sehingga menyebabkan kematian seseorang.
Kenyataan yang lebih pahit lagi, dia juga diPHK karena dari pekerjannya,
karena harus
menjalani hari – harinya di sel tahanan. Pak Dadang saat itu berfikir
bahwa hidupnya sudah terlampau jauh untuk dapat menemukan kebahagiannya
lagi. sementara Musa anaknya, harus ditipkan ke panti asuhan. Pak Dadang
tidak mau menyalahkan dan menghujat Tuhan. Bahwa dia sendiri lah yang
bertanggung jawab atas hidupnya saat ini. Hari – harinya ia lalui dengan
berdzikir dan melakukan kebaikan selama menjalani masa tahanan. Dia
juga menjadi pribadi yang lebih religius.
***
Tiga
tahun berlalu sejak masa tahanannya dimulai. Kini pak Dadang sudah bisa
meninggalkan selnya yang berbau tak enak. Hal pertama yang ingin ia
lakukan adalah mengunjungi makam istrinya. Di bawah batu nisan yang
bertuliskan ‘Lastri binti Kasim’ jenazah istrinya disemayamkan. Di
kuburan itu ia tertegun, dia berusaha mengingat kepingan – kepingan
memori indah saat bersama lastri dulu. Sejenak dia tersenyum, tapi
diakhiri dengan tangisan yang luar biasa dalam batinnya yang muncul
begitu saja. Air matanya berguguran, dadanya terasa sesak, dan matanya
terlihat membengkak. Selepas itu ia meninggalkan sepotong bunga mawar
yang diletakkan di dekat batu nisan mendiang istrinya, lalu berjalan ke
luar area pemakaman.
Langkahnya
kemudian tertuju pada sebuah panti asuhan tempat Musa diasuh. Dibawalah
Musa bersama dengannya. Wajah polos Musa membuat pak Dadang tersentuh,
dipeluklah anak itu dengan dekapan penuh kasih sayang. Tes...tes satu
demi satu air mata pak Dadang berguguran. Dalam benaknya ia meneguhkan
hatinya, “Tak akan kutinggalkan kamu nak!, tak kan lagi setelah ibumu
pergi”. Musa hanyut dalam dekapannya. Pak Dadang membawa Musa ke sebuah
rumah kumuh untuk ditinggali nya bersama, karena rumahnya dulu sudah ia
jual. Sebenarnya pak Dadang tidak tega membawa musa ke sana, tapi dia
tidak mau jauh dengan orang yang amat ia cintai, dan tak mau kehilangan
lagi seperti sosok istrinya yang sudah lama tak dilihatnya lagi.
Sehari
– hari pak Dadang bekerja sebagai buruh serabutan, semua pekerjaan
ikhlas dikerjakannya demi menghidupi Musa. Ia memang punya semangat yang
luar biasa untuk memberikan yang terbaik untuk putranya ini. Musa
didaftarkan di sebuah sekolah dasar tempat kerjanya dulu. Pak dadang
mendapat keringanan biaya untuk sekolah Musa berkat pengabdiannya dulu
menjadi tukang kebun di sekolah itu. Untungnya Musa adalah seorang anak
yang penurut, itu yang membuat beban pak Dadang menjadi lebih ringan.
Senja
menjelang, cat langit sudah berubah menjadi jingga, burung gagak
berteriak kencang. Pak Dadang pulang membawa dua bungkus nasi untuk menu
makan malamnya dengan Musa.
“Musa makan dulu ya, ini bapak bawakan kamu nasi bungkus”
“Iya pak sebentar, Musa lagi ngerjain PR”
“Iya, kalau sudah selesai langsung makan ya nak”
“Iya” Musa menjawab
Pak
Dadang senang melihat anaknya lahap memakan butiran nasi yang dibawanya
tadi, wajahnya penuh pengharapan untuk Musa. Dalam benaknya ia berharap
bahwa Musa akan menjadi anak yang sholeh, berguna untuk negara, seperti
yang diharapkan mendiang ibunya.
“Gimana sekolahmu Mus?
“Oh, baik pak, setelah tes kenaikan kelas 5 nanti bakal ada beasiswa untuk masuk ke SMP favorit untuk peringkat 1 di kelas”
“Wah
ini kesempatan bagus untukmu, tunjukkan kalo kamu bisa dapet itu dan
buat bapak bangga ya” tutur pak Dadang sambil mengelus kepala Musa.
Senja
telah berganti malam, Musa pun terlelap di ranjang dari papan triplek.
Raut mukanya terlihat lugu. Pak Dadang duduk di sebelah Musa untuk
menemani. Uhuuk – uhuuk tiba – tiba pak Dadang batuk, betapa terkejutnya
dia saat tangan yang digunakan unuk meredam batuknya itu memerah karena
darah. Pak Dadang menyadari bahwa umurnya tak akan lama lagi.
***
Tes
semester sudah dilewati Musa dengan baik, dan kini saat untuk mengambil
hasil belajarnya selama du semester ini. Pak Dadang tidak bisa
mengambilkan rapor untuk Musa karena harus bekerja. Betapa terkejutnya
Musa saat mengetahui bahwa ia mendapat predikat ranking 1 di kelasnya
dan berhak atas beasiswa yang selama ini dijanjikan. Musa pulang dengan
wajah yang berbinar, ia sudah tak sabar untuk memberitahukan berita
bahagia ini kepada sang ayah. Dan kali ini ia terkejut saat melihat
rumahnya dikerumuni banyak orang.
“Maaf pak ada apa ini?”
“Bapakmu Mus, Bapakmu meninggal!”salah seorang tetangga menjawab
Musa
tersentak. Wajahnya penuh dengan rasa tidak percaya. Ayahnya meninggal
karena serangan jantung, telah lama pak Dadang menyembunyikan terhadap
Musa bahwa ia mempunyai penyakit kritis. Untuk anak seumurannya sungguh
malang sudah kehilangan kedua orang tuanya. Kejadian ini terulang
kembali saat momen yang seharusnya menjadi bahagia, malah berbalik
menjadi kejadian yang sangat memilukan. Musa tak henti – hentinya
menangis kala itu. Beruntung ada seorang tetangga pak Dadang yang
bermaksud untuk merawat Musa.
Dan...Bertahun
– tahun setelah kejadian itu Musa beranjak dewasa, karena prestasinya,
ia mendapat beasiswa dari menjadi siswa SMP sampai di SMA. Dan sekarang
dia sudah bekerja di perusahaan pengeboran minyak di Sumatra dengan
pangkat yang tinggi, dan juga meneruskan study S2nya Di UGM. Prestasinya
ini ia dedikasikan untuk kedua orang tuanya di ‘sana’.
0 komentar:
Posting Komentar