Senin, 19 Maret 2012

Wanita Nelayan ( cerpen by : Aditya Putra P)

Leave a Comment

           
Wanita Nelayan
 By : Aditya Putra Pamungkas


Pagi yang indah di suatu pulau kecil di wilayah Indonesia timur. Matahari begitu cerah dan tak segan menampakkan wajah bahagianya di ufuk timur NTT. Di sini aku dilahirkan dan di sini aku dididik oleh kedua orang tuaku dengan baik. Kedua orang tuaku memberi sematan nama Ihsan padaku, yang berarti mereka mengharapkanku menjadi anak yang berbudi luhur. Ihsan kecil adalah anak semata wayang yang dimiliki keluarga Bisri. Di pesisir NTT ini aku tinggal, lebih tepatnya di kabupaten Lembata. Di sini rata – rata manusia yang tinggal bermata pencaharian sebagai seorang nelayan. Di sini memang di kenal dengan tradisi nelayan Lamalera. Mereka mempunyai tradisi untuk menangkap ikan paus berukuran besar dengan cara tradisional.
Berbekal sebuah tombak panjang yang dilapisi alumunium runcing di ujungnya, nelayan Lamalera berburu paus di laut luas. Di antara nelayan – nelayan tangguh tersebut, terdapat juga pak Bisri yang tak lain adalah ayahku sendiri. Aku sangat bangga punya sosok seorang ayah seperti itu. Mentalnya kuat, sekuat baja, tekatnya bagai batu karang yang tetap kokoh walau diterpa ombak, tubuhnya kekar bak Hercules, kulitnya menggosong karena terik sorotan matahari yang selalu dirasakannya. Ingin rasanya aku menjadi sosok seperti beliau. Itu yang menjadi obsesiku waktu itu.
Selain ikut tradisi tersebut, ayah juga mencari ikan layaknya nelayan pada umumnya. Terkadang petang, kadang juga bada shubuh ayah pergi melaut. Ini dilakukannya agar keluarga kami dapat menyambung nyawa setiap harinya. Sungguh terenyuh saat ingat, di kala ayah berkata dan berpesan kepadaku setiap beliau akan mulai berlayar.
            “San bapak mau cari ikan, kamu belajar yang rajin ya, biar jadi orang sukses!” sambil mengusap – usapkan tangannya ke rambut pirangku.
            “Iya, bapak hati – hati ya Pak, dapat ikan banyak ya pak!” jawabku polos
            “Iya” sambil menorehkan senyum manis kepadaku
Ibu juga sosok yang sangat istimewa di mataku. Tentu ayahku juga mempunyai pendapat yang sama denganku. Bagaimana tidak, setiap hari beliau susah payah menyiapkan semua keperluan keluarga. Menyiapkan semua kebutuhan sekolahku, memasak di tungku batu dan mengurusi semua yang ada di rumah kami. Ibuku memang sosok yang sederhana dan apa adanya, mukanya halus tanpa tambahan make up, kulitnya dibiarkan coklat, dan hanya memakai satu perhiasan yaitu cincin kawin yang diberikan ayah kepadanya. Ibu juga mempunyai sifat pekerja keras seperti ayah. Beruntunglah aku mempunyai pasangan orang tua yang begitu lengkap seperti ini. Aku yang saat itu masih ingusan hanya bisa berpikir polos.
Saat ayah sedang berlayar,  ibu lah satu – satunya sosok yang menemaniku di rumah. Saat aku jenuh dan menginginkan ayah di sampingku, ibu selalu mempunyai cara untuk melupakan itu. kadang aku dibuai oleh cerita – cerita yang diuraikan ibu lewat gerak bibirnya yang lembut.
“San, kamu tahu kenapa bulan dan bintang menampakkan diri saat matahari sudah tenggelam?”
“Aku tidak tahu bu,  memang apa sebabnya?” jawabku polos
“Karena, mereka juga ingin melihat senyummu, kalau kamu murung seperti ini, pasti mereka enggan menampakkan dirinya lagi.”
Aku termenung dengan kata – kata ibu, waktu itu memang aku masih sangat polos dan tak bisa mencerna kata – kata yang sulit dimengerti. Tapi kalimat – kalimat yang dilontarkan ibu mampu membuatku paham dan membuatku sadar agar aku tidak murung lagi. Namun entah kenapa, tetap saja di dalam hatiku masih menyimpan sebuah pertanyaan kecil tentang bagaimana ayah di sana.
                                                            ***
Keluarga kami memang keluarga yang bisa dibilang kekurangan, ayah hanya seorang nelayan dan ibu tidak bekerja. Hidup kami hanya bergantung pada penghasilan ayah, dan ayah juga bergantung pada kondisi laut. Apabila sedang pasang atau cuaca buruk maka ayah tidak bisa melaut, dan biasanya ayah hanya memperbaiki kapal dan jala ikan saja. Apalagi jika harga solar naik, maka hal tersebut akan mempersulit keadaan kami. Saat – saat itu menjadi hal yang tak menyenangkan bagi keluarga kami. Tapi aku melihat sosok yang bijak dalam diri ayah. Ayah tak pernah mengeluh dengan keadaan, begitupun juga dengan ibu. Mereka adalah sosok orang tua yang bijak dan menerima apa yang diberikan Tuhan dengan apa adanya.
Sifat mereka juga mengalir dalam darahku. Aku tak pernah merasa kurang dalam hidup ini. Makan seadanya, baju yang itu – itu saja, seragam sekolah yang kusam itu sudah biasa buatku. Tapi aku bertekad untuk membuat hidup keluarga kami lebih baik dari ini. Setiap hari aku belajar dengan giat. Ada motivasi besar dalam benakku, yaitu membuat hidup keluargaku ini jauh lebih baik daripada sekarang ini. Kalau bukan aku, lalu siapa lagi yang akan membuat itu terwujud. Kala itu aku masih duduk di kelas 5 di sebuah sekolah dasar negeri di kampung ini. Tapi aku sudah bisa berfikir jauh mengenai hal ini. Aku juga tidak tahu kenapa seorang yang masih “ingusan” sudah berfikir sejauh ini. Mungkin karena obsesiku terhadap orang tua yang kemudian menjadi suatu motivasi yang besar dan berpengaruh dalam pola pikirku yang seharusnya belum sampai sejauh itu.
Suatu malam di saat aku sedang belajar di sudut kamar, ibu datang menghampiriku. Sepertinya ibu melihatku bersungguh – sungguh belajar. Tiba – tiba suara lembut terdengar dari bibir ibu.
“Ihsan besok tes semester kan?”
“Iiiyya...Bu” jawabku kaget
“Oh...belajar yang rajin ya Nak, biar bisa buat ayah dan ibu bangga” sekilas terlihat senyum penuh makna terpancar dari wajahnya saat berkata seperti itu.
“Iya bu, Ihsan akan berusaha!” aku tahu bahwa ibu benar – benar mengharapkan itu.
Setelah itu ibu keluar raung kamarku dengan senyum pengharapan dan suasana hati yang haru, mungkin karena tersentuh melihat kesungguhanku dalam belajar.
                                                            ***
Sudah satu minggu ini aku berjuang agar mendapat peringkat pertama di kelas. Dan akhirnya tes semester ini sudah terlewati. Aku berharap kerja kerasku ini tidak sia – sia, aku sungguh mengharapkan itu. Aku ingin melihat tangis haru ayah dan ibu ketika mendengar bahwa aku telah mendapat peringkat pertama di kelas.
Sabtu ini adalah pembagian rapor di sekolah. Ibu yang datang mengambil rapor karena ayah harus melaut. Aku sangat berharap dapat meraih peringkat pertama, mulutku komat – kamit berdoa agar doaku terkabul. Dan...betapa indahnya dunia ini saat diumumkan bahwa Muhammad Ihsan mendapat peringkat pertama di kelas. Wajahku yang tegang karena cemas langsung berubah menjadi wajah sumringah seperti orang yang baru saja mendapatkan undian mobil dari bank. Ibu juga terlihat sangat bangga, terlihat air mata yang mulai gugur membasahi pipinya.
“Selamat Nak, kamu berhasil! Ayah pasti sangat senang mendengar berita ini.”
“Iya...Bu, aku sudah tak sabar untuk memberitahukan ini kepada ayah.”
Dengan sabar aku menunggu kepulangan ayah dari melaut, biasanya jika ayah melaut dari pagi maka akan pulang pada senja hari. Lama aku menunggu, tetapi ayah tak kunjung datang. Tapi...aku masih bersabar menanti ayah. Mungkin ayah mendapat banyak tangkapan ikan, pikirku. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam, tetapi ayah masih tak kunjung pulang. Di sini aku masih menguatkan diri agar terjaga sampai ayah datang.
Dan...betapa terkejutnya aku saat kapal karet milik TNI AL merapat di pesisir pantai kampungku. Semua warga keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Aku dan ibu juga keluar dan menghampiri ke kerumunan warga yang sedang menyaksikan sesuatu, entahlah itu.
Lalu...betapa terkejutnya aku dan ibu melihat ada dua sosok mayat pria yang sudah kaku di sana, dan satu diantara dua mayat itu adalah ayahku. Airmata langsung berguguran kala itu. Deras air mata yang mengalir menandakan jelas bahwa kesedihan yang luar biasa sedang menggerogoti hati ini. Ayah tewas tenggelam ketika kapalnya karam karena diterjang badai. Aku dan ibu merasa sangat terpukul, jiwa kami tergoncang hebat, antar percaya dan tidak. Aku masih ingin menunjukkan prestasiku ini kepada ayah, tapi...kenapa ayah sudah meninggalkan kami. Hari yang seharusnya indah, mengapa bisa menjadi hari yang paling tragis dalam hidup ini. Lalu siapakah yang akan menjadi tumpuan hidup kami? Itu pertanyaan besar yang ingin ku lontarkan pada Tuhan.
                                                            ***
Aku dan ibu masih tak percaya ayah akan meninggalkan kami dengan cara seperti ini. Di saat kami butuh tumpuan hidup, di saat kami butuh sosok pemimpin keluarga, kenapa ayah sudah tidak bisa menjalankan itu lagi. Di saat itu masih terngiang – ngiang di kepalaku. Tiba – tiba suara langkah kaki memecah lamunanku. Ketika itu masih ku ingat benar, saat aku sedang duduk di kursi rotan usang yang biasa digunakan ayah saat beristirahat. Tiba – tiba ibu menghampiriku dan mengucapkan beberapa kalimat yang membuatku tertegun dan terperanah tak percaya.
“San, ibu tahu kamu masih memikirkan mendiang ayahmu kan?”
“...” aku masih diam tak menjawab.
“Mulai besok ibu yang akan melaut menggantikan ayahmu, ibu akan melaut bersama paman Limpo.”
Mataku terbelalak, dahiku berkerut, bibirku tak mampu bergerak menahan rasa tak percaya ini.
“Tapi...ibu tidak seharusnya begini!”
“Sudah...ibu tak punya pilihan lain, ibu harus mencari makan untuk kita!”
Sebenarnya aku tak tega membiarkan ibu melaut. Pekerjaan ini tak seharusnya dilakukan oleh seorang wanita. Tapi aku bisa apa waktu itu, yang bisa ku lakukan adalah belajar agar tekadku untuk membuat hidup keluargaku lebih baik bisa terwujud. Ibu melakukan persis seperti yang dilakukan ayah. Ibu melaut saat bada shubuh dan terkadang menjelang petang.
Kulit ibu yang semula halus kini menjadi kasar, rambutnya yang hitam kini sudah mulai memirang karena seringnya terkena sorotan langsung matahari, kulitnya pun sudah mulai “gosong” dan berubah menjadi kecoklat – coklatan. Sekarang aku tumbuh menjadi anak yang lebih mandiri, aku tidak ingin lebih menyusahkan ibu. Sudah cukup berat beban yang harus ditanggung ibu, mana mungkin aku tega untuk membuatnya sedikit saja kecewa padaku.
Setiap hari aku bermunajat memohon kepada Tuhan. Hampir setiap hari aku memaknai semua hal yang dilakukan ibu, dan aku merasakan kedahsyatan yang luar biasa dari apapun yang dilakukannya. Masih saja ia sempatkan waktu untuk membereskan rumah dan menanak nasi. Padahal semua yang sudah dilakukannya adalah hal yang sangat luar biasa, ketika seorang wanita mau berjibaku melawan ombak, menerjang badai, menembus topan di lautan untuk menyambung hidup keluarganya.
“Ya Tuhan, lindungilah ibuku, jangan biarkan sedikitpun hal buruk menimpanya!” semua emosi jiwaku tumpah saat itu.
Suatu hari aku pernah melihat ibu terbaring di ranjang rotan dengan keadaan lemas. Sepertinya ibu jatuh sakit karena terlalu lelah melaut. Tapi...ibu mencoba meyakinkanku bahwa dirinya tidak apa – apa. Aku tidak tega melihat ibu seperti itu, aku keluar untuk mencari obat. Dan saat aku pulang, ternyata ibu sudah tak ada di tempat, setelah aku bertanya pada tetangga ternyata ibu sudah pergi melaut. “Ya...Tuhan apakah ini yang dikatakan dengan pengorbanan seorang ibu?” Memang benar bahwa ibu adalah seseorang yang sangat berharga dibandingkan apapun!
                                                            ***
Menjelang hari tuanya, ibu masih saja melaut. Sampai rambutnya beruban pun ibu masih saja melaut. Dan saat aku masuk papan kuliah, di situlah akhir dari perjuangan ibu selama ini. Ibu meninggal saat umurnya memasuki 60 tahun. Saat aku tak bisa berkata – kata lagi betapa besar jasanya terhadapku, aku hanya bisa merenung dan mencurahkan semua perasaanku ini di atas makamnya. Ayah pasti juga bangga telah memiliki istri seperti beliau.
Kini aku telah bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Aku sudah cukup sukses dengan menjabat sebagai General Manager. Semua ini tentu tak lepas dari peran orang tua, terutama ibu! Jika anda tahu siapa nelayan wanita yang  gagah berani menerjang ombak di lautan NTT, ia adalah ibuku!

0 komentar:

Posting Komentar